Sabtu, 23 Mei 2009

Suster yang mulia


Namanya Rabiah. Profesinya tenaga medis. Dia dijuluki "Suster Apung" karena hampir setiap hari -- berjam-jam -- menerjang ombak dengan perahu tradisional, dari pulau ke pulau. Separuh dari usianya yang 48 tahun dia dedikasikan untuk mengabdi pada penduduk di pulau-pulau di Laut Flores, Sulawesi Selatan. Pernah bersama beberapa orang pulau, ibu empat anak ini terdampar di pulau karang yang tak berpenghuni.

Beberapa di antara mereka sudah mulai putus asa dan berniat meninggalkan pulau dengan rakit buatan. Di tengah rasa putus asa, mereka menulis pesan di atas beberapa tempurung kura-kura lalu dihanyutkan ke laut. Tuhan maha besar. Salah satu tempurung itu ditemukan warga pulau. Maka selamatlah mereka. "Sebagai perawat, saya sebenarnya bisa kena malpraktek," ungkapnya jujur. Pasalnya, suatu hari, akibat keterbatasan obat-obatan Rabiah terpaksa memberikan cairan infus yang sudah kadaluarsa kepada seorang penduduk yang sedang sekarat. "Alhamdulilah orang itu masih hidup sampai sekarang," ujarnya. Kisah Suster Apung merupakan satu dari lima finalis kompetisi film dokumenter Eagle Award yang diselenggarakan Metro TV. Dengan tema "Selamatkan Indonesiaku", kelima film karya anak-anak muda ini mengangkat kisah orang-orang yang pantang menyerah pada keterbatasan di sekitar mereka dan terus berjuang untuk bisa bertahan dan berguna bagi masyarakat sekitarnya. Film lainnya bercerita tentang anak-anak pendorong lori di atas rel kereta yang sudah tidak terpakai, di daerah Kota, di Jakarta Pusat. Mereka memanfaatkan rel yang mati itu untuk bertahan hidup dengan membuat gerobak angkutan yang didorong tenaga manusia. "Cita-cita saya ingin jadi supir. Kelihatannya gagah. Bisa naik kijang, naik mobil boks, pokoknya hebat," ujar Wanto, salah satu dari anak-anak itu. Kick Andy kali ini mencoba menghadirkan langsung tokoh-tokoh dalam film dokumenter itu. Termasuk Solikin, yang dituding gila oleh warga desanya karena hendak "menguruk laut". Tapi perjuangannya kini menghasilkan 400 hektar tanah tambak dan hutan mangroe serta mampu mengatasi ancaman abrasi yang terjadi di sepanjang Pantai Utara Jawa. Begitu juga kisah tentang Asmoredjo yang bersama teman-temannya sesama petani lebih suka menjadi penggali fosil. Bersama tiga temannya, Asmoredjo diam-diam menggali fosil dan hasil temuannya dijual ke penadah gelap dengan harga yang lebih tinggi dari yang ditawarkan pihak museum. "Penduduk lebih suka jual ke penadah karena selain harga lebih tinggi, bayarannya juga langsung. Kalau ke museum murah dan pembayarannya lama," ujar lelaki yang tidk bisa berbahsa Indonesia ini. Sebuah dilema bangsa Indonesia karena lokasi penggalian berada di situs yang dilindungi dan oleh UNESCO ditetapkan sebagai World Heritage atau Warisan Dunia. Cerita yang tak kalah menarik datang dari Kepulauan Maya-Karimata, Kalimantan Barat. Ini kisah tentang Diana, seorang dokter muda berusia 25 tahun, yang bertugas sebagai dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT), yang ditugaskan membantu masyarakat di sekitar kepulauan tersebut. Diana harus menghadapi tantangan karena masyarakat masih lebih percaya dukun ketimbang dokter. Belum lagi penyakit malaria ganas yang pernah membuat para dokter yang bertugas di sana menjadi "gila". Tak heran jika sembilan tahun daerah itu tidak memiliki dokter.

0 komentar:

photo

GlitterFly.com - Customize and Share your images